Sulastri, nama yang diciptakan dengan khas kejawen diperuntukkan untuk seorang wanita berambut panjang pada tokoh utama cerpen tersebut. Sebuah nama berasal dari bahasa Jawa yang berarti isteri dewa, nama bunga dan pohonnya. Melambangkan pesona dan karisma seorang yang glamor dan ingin menjadi pusat perhatian. Seorang yang perasa, pemimpi, tulus, semangat, dan mudah jatuh cinta. Memiliki nama yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang. Akan tetapi nama "Sulastri" sangat tidak mencerminkan kualitas pribadinya yang sekarang, doa orangtua dengan memberikannya ia nama tersebut sangatlah sia-sia. Kini anak yang dibanggakan semasa kecilnya dulu sedang beradu nasib dengan keputus asa an oleh ketidakwarasan negeri.
Arah hatinya tersesat karena mengalami
situasi buruk, tidak tahu harus berlutut ke mana dan menceritakan semua keluhan
yang ada dalam hidupnya. Tidak mungkin memberi tahu orang lain karena tidak
semua memberikan solusi yang dapat menjadi jalan keluar, hatinya menyusut
setiap hari. Ia sedang tidak dekat dengan Sang Pencipta, bahkan
menjauhinya. Padahal, keyakinan beragama sangat penting untuk
memperkuat kekuatan batinnya dalam menghadapi segala masalah yang dialami
wanita bersuami dan beranak tersebut. Hiruk
pikuk dunia yang semakin kacau ini, membuat ia semakin terpenjara hati dan
pikirannya untuk tetap melanjutkan hidup. Masih teringat jelas cerita pada
cerpen tersebut bahwa seorang polisi hendak menyelamatkan Sulasttri ketika
berada di atas tanggul, namun apadaya ia tak mau dan memilih untuk menjauh. Penggambaran
yang sempurna meyakinkan pembaca bahwa perempuan bernama Sulastri hendak untuk
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena putus asa. Permintaan polisi untuk
membujuknya turun selalu ditolak mentah olehnya hingga polisi tersebut kehilangan kesabaran dan meninggalkannya.
Bengawan
Solo, tempat ia merenung dan mengingat kembali masa lalu yang kelam. Tempat
kesengsaraan yang diberikan oleh sang suami. Ia tak sanggup mempertahankan
nyawa sendiri tanpa campur tangan suami. Ya, suami yang tidak bertanggung jawab
dalam hal menafkahi, karena lebih mementingkan hasrat musyrik yang sedang
dijalankannya. Sulastri tersadar dalam lamunannya dan tersontak akan kedatangan
yang ia sebut dengan nama Fir’aun yang hendak menyelakai Sulastri dan Musa yang
berhasil menolongnya. Telah kita ketahui, Fir’aun merupakan seorang raja yang
kejam pada zaman itu. Sedangkan Musa merupakan seorang Nabi dengan mukjizat
yang diberikan Allah untuk menolong umat manusia berupa tongkat. Sebuah
perlawanan Nabi Musa kala itu atas kekejaman raja Fir’aun dengan membelah
lautan lalu menenggelamkannya sehingga raja Fir’an beserta prajurit dan pengikutnya
terhanyut di dasar lautan. Kisah tersebut sangat berkaitan dengan cerpen yang
ditulis oleh M. Shoim Anwar, bahwasannya dalam beragama kita harus teguh iman
dan pendirian. Harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika
hati dan jiwa kita sudah tertutupi oleh kegelapan namun tidak mau mencari jalan
keluar dan bertobat, maka kita tidak percaya akan kekuasaan Tuhan yang sangat begitu
besar. Hal itu telah digambarkan oleh seorang raja Fir’aun yang semasa hidupnya
menentang ajaran yang sesat. Lain dengan Nabi Musa yang menjadi penerangan
dalam kegelapan, dengan mukjizat berupa kesaktian tongkat tersebut mampu membuat umat manusia terdasar bahwa
pertolongan Allah akan datang bersamaan dengan iman kita yang kembali pada
jalan lurus.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ
لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ)53() وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا
لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ )54(4
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu,
dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu
tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar {39} : 53-54).
Ayat-ayat di atas menyerukan kepada semua orang yang jatuh
ke dalam situasi tidak bermoral atau maksiat, baik dalam keraguan atau dosa
lainnya, untuk bertaubat dan kembali kepada Allah. Tentu Allah akan mengampuni
dosa siapa pun yang bertaubat dan kembali
pada-Nya. Bahkan orang yang melakukan syirik jika ia bertaubat, maka ia akan diampuni. Betapa Allah itu Maha
Pengasih lagi Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya. Teringat kembali berbagai
kisah yang dialami oleh beberapa nabi pada zaman itu. Paus tidak memakan Nabi
Yunus, laut tidak menenggelamkan Nabi Musa, pisau tidak melukai Nabi Ismail, api tidak membakar Nabi Ibrahim. Jika kita
melibatkan Allah dalam semua urusan, maka Allah akan menjaga kita setiap saat.
Setiap orang memiliki kisah hidup masing-masing, terutama dalam menjadi pernikahan. Akan melewati berbagai ujian demi ujian, baik faktor ekonomi, kesehatan, hubungan dengan keluarga. Bagi yang berhasil melampauinya, bisa jadi hubungan terlihat semakin kokoh dalam bahtera rumah tangga.
“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
Orang selalu berkata bahwa uang tidak bisa membeli
segalanya. Cinta dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak bisa diukur dari seberapa
banyak uang yang dimiliki. Ini juga yang menyebabkan Sulastri dan
suaminya banyak perselisihan dengan ingin berpisah dan mengakhiri pernikahan itu. Ia mengeluh untuk mendapatkan kekuatan, betapa
egois dan tidak bersyukurnya ia. Apa yang ia pikirkan sekarang adalah uang, uang dan
uang. Bahkan ia lupa dengan kekuatan Allah dengan segala kemurahan-Nya atas
segala nikmat rezeki yang tak terhingga. Teringat lantunan Sudjiwo Tejo yang
berbunyi “Khawatir tidak bisa makan saja kau sudah menghina Tuhan”. Namun semua dijalani
dengan iringan kerja keras dan usaha, tidak melulu membiarkan nasib kemiskinan
menggerogoti kehidupan. Kemudian ia mencoba yang terbaik untuk menenangkan hati
dengan mengundurkan diri, memohon pengampunan dan refleksi diri pada takdirnya.
Ia merelakan apa yang bisa dilakukan sekarang sekalipun suaminya telah
melakukan kemusyrikan dan menelantarkannya.
“Negeri kami miskin, Ya
Musa. Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa. Kami menderita, Ya Musa. Kami tak
kebagian, Ya Musa. Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa. Tolonglah saya, Ya
Musa. Tolonglah saya, Ya Musa….”
Hal itu bisa dikaitkan dengan keadaan politik pada
masa itu, mengapa demikian? Perkataan Sulastri seakan
dunia tidak berpihak kepadanya. Politik di negeri ini sering kali memberikat peluang
kepada para politikus untuk bertindak kejahatan berupa korupsi, kolusi dan
nepotisme. Pemerintah lebih mementingkan keuntungan keluarga dibanding
kesejahteraan rakyat. Keserakahan politik ini akan memecah bela kesatuan negeri
ini. Alangkah damai dan indah negeri ini
jika tidak ada keserakahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar