Cerpen
pertama yang berjudul “Sorot Mata Syaila”, menceritakan sebuah peristiwa kasus
korupsi uang negara yang dilakukan oleh tokoh yang bernama Matalir. Ia sempat
melarikan diri menuju Dubai dengan transit di bandara Abu Dhabi. Ketika sampai
di bandara tersebut, ia bertemu dengan sosok wanita berpakaian busana khas Arab
dengan warna hitam panjang. Seketika laki-laki tersebut terpesona akan
keindahan tubuh dan parasnya sehingga ia larut di dalamnya. Syaila namanya, perempuan
yang mampu menghipnotis Matalir dan menyadarkan ia akan hal yang dilakukan
sebelumnya. Seakan Syaila adalah sebuah petunjuk kiriman Tuhan untuk
mengantarkan Matalir padda proses hukum. Ditunjukkan pada cerita ketika Syaila
mengajak dan memberi suatu pesan kepada Matalir untuk mengikutinya, Langkah demi
langkah ia jalani. Sampai pada akhirnya Syaila mengantarkan Matalir dan
menyadarkan pada kenyataan bahwa nyawa kedua istri dan keempat anaknya sedang terancam
disana. Bergelantung dengan jeratan leher dan kakinya menggantung seperti
kepompong.
Dari cerpen “Sorot Mata Syaila” tersebut, penulis membawakan pesan bahwa setiap tindakan
manusia pasti mendapatkan balasannya. Sebab itulah peringatan kepada kita bahwa
setiap kejahatan yang dilakukan tidak dibiarkan begitu saja, pasti ada
perhitungannya. Yaitu sebuah balasan yang setimpal dengan kejahatan yang ia
lakukan. Baik balasan di dunia maupun di akhirat. sekecil apapun dosa yang
diilakukan, pasti ada balasannya. Allah maha melihat dan hukum tetap berjalan
sesuai ketentuan undang-undang.
Cerpen
kedua yang berjudul “Sepatu Jinjit Aryanti”, menceritakan suatu peristiwa
pembunuhan seorang petinggi yang semua saksi berada di tangan Aryanti,
seseorang menyembunyikan Aryanti dari media.
Cerpen
ketiga yang berjudul “Bamby dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, menceritakan
suatu peristiwa hasutan sebuah permasalahan antara Anik, Miske, dan Bamby yaitu
antara hakim dengan pelapor. Disini menceritakan bahwa kecurangan seorang hakim
yang menjual jabatan demi keuntungan pribadi tanpa memperhitungkan orang lain. Seharusnya
seorang hakim harus bersifat adil, bukan untuk menipu.
Cerpen
keempat yang berjudul “Tahi Lalat”, menceritakan suatu tokoh pak lurah, istri,
dan warga dalam kehidupannya. Pusat perhatian terletak pada istri pak lurah
yang sedang digunjing warganya karena didapati sebuah tahi lalat di sebelah
kiri dadanya. Dari kalangan anak kecil hingga dewasa mengetahui aib istri pak
lurah tersebut. Sampai-sampai anak kecilpun berani menggambarkan secara fisik
di atas lembar bahwasannya terdapat titik hitam di dada perempuan yang ia sebut
sebagai bu lurah.
Dari cerpen “Tahi Lalat” tersebut, masyarakat sangat
berani dalam mengkritik pejabat pada permainan politik dan penipuan rakyat demi
keinginan pribadi yang menggebu-gebu. Terkait kalimat pertama yang menuliskan
“Tahi Lalat di Dada Istri Pak Lurah” mampu membuat pembaca merasa penasaran
dengan gaya bahasa yang sedikit ambigu untuk dimaknai. Hal itu didukung dengan
adanya pergunjingan warga yang mengatakan “Tersenyum sambil membuat
kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan telunjuk
ke dada sendiri”. Siapa sangka bahwa maksud dari pergunjingan itu mengarah pada
aib yang dimiliki oleh Pak Lurah beserta istrinya. Semua kalangan baik
anak-anak sampai orang dewasa tahu bahwa aib apa yang sudah dilakukan keduanya.
Warga pun merasa geram dengan tindakan dan kebijakan pemerintah yang seharusnya
memakmurkan masyarakat akan tetapi malah menghancurkan nasib dengan menjual
tanah guna untuk dijadikan perumahan. Seharusnya pemerintah sadar akan
keperluan dan kebutuhan untuk mencukupi pangan masyarakat. Hal itu mungkin bisa
diwujudkan dalam pengembangan lapangan pekerjaan, menjadikan tanah sebagai
ladang persawahan, membuat program kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.
Tapi mengapa tidak pernah berniatan seperti itu? Yang ada hanyalah menghabiskan
uang rakyat dan menyesengsarakannya. Janji-janji yang dilontarkan hanya omong
kotor namun tidak bisa dipungkiri, pejabat lebih berwenang.
Cerpen
kelima yang berjudul “Jangan ke Istana Anakku”, menceritakan suatu peristiwa
sebuah keluarga yang mempunyai anak yang ingin pergi ke sebuah istana. Namun bapaknya
melarang karena suatu hal. Bapaknya melarang karena memiliki alasan bahwasannya
pernah diperlakukan tidak baik disana, sehingga semua itu tidak mau terulang pada
anak kesayangannya.
Setelah
menjabarkan bagaimana kelima cerpen karya M. Shoim Anwar tersebut, menurut saya
penulis hanya mengusung satu tema yang menjadikan perempuan sebaggai tokoh
utamanya. Kebanyakan pria akan terpengaruh oleh tubuh
wanita, bukan karena dia telanjang, tetapi jika hati wanita sama dengan pikiran
pria, maka seluruh tubuh wanita yang terbungkus kain tebal dapat
membuat pria mengambil napas. Jadi apa alasan orang melakukan kejahatan? Setiap
orang memasuki
pintu kehidupan melalui wanita. Kebanyakan orang hidup dalam rahim wanita
selama sembilan bulan. Ketika benih jantan membuahi sel telur betina, kehidupan
lahir. Di sinilah keajaiban yang sebenarnya terjadi. Perempuan selalu menjadi
korban dan penindasan sebagai takdir. Seakan-akan menjadi perempuan itu sebuah dilema
sepanjang kenangan. Kita perlu mendorong kebebasan kaum perempuan.
Penggambaran perempuan pada kelima cerpen tersebut sangat berkaitan
erat. Berawal dari sebuah cerpen berjudul “Tahi Lalat” yang membuat
geger warga akan tahi lalat yang ada di dada sebelah kiri bu lurah yang
menyatakan sebuah aib bu lurah istri pak lurah. Kemudian berlanjut pada cerpen
yang berjudul “Sepatu Jinjit Aryanti” yang menyembunyikan sosok Aryanti sebuah
kasus pembunuhan. Lalu berlanjut pada cerpen berjudul “Bamby dan Perempuan
Berselendang Baby Blue” dengan sebuah hakim yang tidak bijak. Hingga sosok Matalir yang disadarkan oleh perempuan Bernama Syaila pada cepen
“Sorot Mata Syaila” sehingga mampu tersadar akan kesalahannya. Dan pada cerpen
berjudul “Jangan ke Istana Anakku” dengan penggambaran bapak
yang sangat saying terhadap anaknya. Jika sudah berhubungan dengan wanita,
orang akan dibutakan dan ditulikan.
Sekian
dan terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar