Rabu, 31 Maret 2021

Mengulas puisi “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” dengan kehidupan sehari-hari

 

Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup 

(Karya M. Shoim Anwar) 

 

Cerpen M. Shoim Anwar “Sisik Naga Di Jari Jari Gus Usup” terdiri dari beberapa paragraf yang entah dihitung darimana, sebab tanda-tanda paragraf tersebut tidak bisa diketahui pasti penulisannya dimulai dengan alinea mana. Suatu cerpen yang menggambarkan kehidupan manusia saat ini penuh dengan keinginan yang dapat dipuaskan dan mencari kesenangan tersendiri. Seperti halnya Guk Mat, tokoh kartu remi yang ingin memenangkan permainan bersama Gus Usup dan kawan-kawan, mereka bisa menghasilkan uang di panggung permainan. Cerita yang disajikan sangat menarik, dikemas dalam bahasa yang sederhana dengan penjelasan yang jelas. Masing-masing tokoh memiliki ciri khas dan penghormatan terhadap orang yang dianggap tidak biasa di desanya, orang itu adalah Gus Usup. Seorang yang begitu humoris dalam memandang hidup ini, namun di dalamnya menyimpan segala kebijaksanaan. Potret pengabdian sebuah keluarga pondok yang terpandang, tempat ia dibesarkan oleh sebuah kultur Jawa yang tenang.

Berbicara soal kehidupan yang diabdinya, “Gus Usup”. Nama ini merupakan sebuah figur yang disegani oleh masyarakat. Mengapa tidak? Keseharian yang dilakukan Gus Usup merupakan suatu konsep yang menyinggung dan berkaitan dengan agama dengan konsep sosial yang ditonjolkan. Pemahaman terhadap suatu kehidupan terhadap gejala sosial yang dilakukan oleh Gus Usup sebagai tokoh masyarakat dalam permainan remi bukanlah perkara hal baik atau buruk. Siapa dapat mengira jika yang ia lakukan adalah sebuah dakwah, karena segala hal terpuji dan tercela hanya Tuhan yang akan menimbangnya. Kultur lingkungan pesantren Jawa sangat melekat pada kehidupannya, sehingga pola hidup sehat memang pantas untuk diterapkan disana.

Lain cerita ketika akan membahas seorang tokoh yang selalu menganggap rumput tetangga selalu terlihat indah, Guk Mat namanya. Watak yang digambarkan pada cerpen tersebut mencerminkan saya atau bahkan kita semua. Manusia memang aneh, kadang manusia sibuk memikirkan keberuntungan orang lain tanpa melihat sekeras apa usaha yang dilakukan. Merasa iri dengan pandangan kita tanpa kita pahami bahwa setiap makhluk memiliki jalan hidupnya masing-masing, perkara rezeki sudah ada takarannya. Tuhan tahu apa yang terbaik buat kita. Penggambaran masyarakat kurang bersyukur dan hanya menuruti hawa nafsunya mampu dituangkan dalam cerpen tersebut, untuk menyadarkan bahwa semua perkara kerja keras dan keberuntungan. Kalimat sederhana dengan alur yang sejalan mampu membuat pembaca mudah memahami dan menangkap makna cerita tersebut, walaupun ada beberapa kata berbahasa Jawa tanpa pemberian makna yang mempersulit orang lain dalam mengartikannya.

 

Cerpen “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” karya M. Shoim Anwar ini dapak diakses melalui laman berikut:  https://basabasi.co/sisik-naga-di-jari-manis-gus-usup/

Kamis, 25 Maret 2021

Menelaah puisi "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah" karya Shoim Anwar

Puisi merupakan sesuatu yang dituliskan oleh penulis dengan mengekspresikan pemikiran, dan perasaan kedalam bentuk karya tulis. Seperti juga yang dilakukan oleh Shoim Anwar dalam menulis puisi yang berjudul Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”,  kita akan berselancar mengarungi sebuah cakrawala kehidupan. Pada bait pertama puisi menceritakan ulama  Abiyasa yang benar-benar menjadi seorang ulama. Ulama yang dimuliakan oleh banyak orang. Ulama yang tidak tergoda oleh bujuk rayu dunia dan tidak takut dengan jalan kebenaran yang dipilinya. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bari pertama “Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia” menggambarkan seorang ulama Abiyasa yang dianggap guru dan dimuliakan banyak orang dan dianggap sebagai penuntun jalan. Pada baris ke dua adalah penguat bagaimana seorang ulama Abiyasa menjadi panutan oleh pengikutnya. Pada baris ke tiga menjelakan bahwa ia adalah ulama yang berpegang teguh pada ilmu dan kebenaran. Sehingga ia tidak kepincut dengan yang bersifat keduniawian. Sedangkan bari empat sampai enam membuktian ulama Abiyasa tidak dengan segala hal yang bersifat keduniawian dan tidak pernah takut dengan apapun kalau dalam keadaan benar

Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia

Panutan para kawula dari awal kisah

Ia adalah cagak yang tegak

Tak pernah silau oleh gebyar dunia

Tak pernah ngiler oleh umpan penguasa

Tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah

Tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak

Tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja

Pada bait ke dua penulis menekankan pada baris sembilan “Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah” pada baris tersbut mengambarkan ulama Abiyasa menselaraskan hati dan ucapannya sehingga tidak menyakiti atau menghasilkan hal-hal yang tidak baik. Kerena ketika seseorang mampu menselasraskan hati dan lidah(ucapan) menjadi orang yang akan dipercaya dan dihormati. Pada baris ke sepuluh menggambarkan kehoramatan haruslah dijaga dengan baik. Baris berikutnya untuk mencapai sebuah kehormatan dan menjaga kehormatan digambarkan dengan bertutur kata haruslah dengan baik dan tidak menyakiti orang lain. Sedangkan bait dua belas dan tiga belas menjelaskan untuk dihormati tidak perlu dan tidak sepatutnya menggunakan kekerasan/menyakiti. Cukuplah dengan berbuat bijaksana dalam bersikap, bertutur kata, dan bijaksana dalam melakukan segala sesuatu.

Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah

Marwah digenggam hingga ke dada

Tuturnya indah menyampaikan aroma bunga

Senyumnya merasuk hingga sukma langkahnya menjadi panutan bijaksana

Kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata

Pada bait ke tiga penulis menekankan pada baris ke empat belas dan lima belas “Ulama Abiyasa bertitah. Para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya” pada kedua baris tersebut menggambarakan bagaimana dihormatinya Ulama Abiyasa. Ketika ia sudah bersabda atau mengatakan sesuatu semua orang akan tunduk, hormat dan melaksanakan sesuai apa yang dikatakannya. Tidak terkecuali sekalipun Raja dan Penguasa tetap akan hormat dengan apa yang sudah diucapkannya. Baris seterusnya membuktikan bahwa seorang ulama berdiri diatas segala-galanya. Tidak mampu diperdaya untuk segelintir kepentingan. Tiap kata atau ayat suci yang keluar dari dalam mulutnya adalah murni demi kebaikan. Tidak untuk jabatan apapun, tidak untuk kepentingan apapun, dan sekalipun itu kepentingan penguasa. Ia tidak membutuhkan semua itu. Ulama berdaulat ulama Abiyasa.

Ulama Abiyasa bertitah

Para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya

Tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa

Menjadikan sebagai pengumpul suara

Atau didudukan di kursi untuk dipajang di depan massa

Diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah

Agar tampak sebagai barisan ulama

Ulama Abiyasa tidak membutuhkan itu semua

Datanglah jika ingin menghaturkan sembah

Semua diterimah dengan senyum memesona

Jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena

Sebab ia lurus apa adanya

Mintalah arah dan jalan sebagai amanah

Bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata

Tapi dilaksanakan sepenuh langkah

                                                           Desember 2020

Ketika membicarakan makna keseluruhan puisi Ulama Abiyasa tidak pernah minta jatah karya Shoim Anwar bermakna ulama yang perpegang teguh pada ilmu yang diperlajarinya. Artinya ketika diberi gelar seorang ulama sudah sepatutnya segala tindak laku haruslah mencerminkan sebagai seorang ulama. Ulama yang tidak tergoda dengan segala sesuatu bersifat duniawi dan berpegang teguh atas dari ilmu atau akhida agama.

Jika dihubungkan dengan masa sekarang Ulama Adiyasa sungguh sosok yang diidam-idamkan. Coba tengok banyak sekali orang yang diberi gelar{mengaku) sebagai ulama memanfaatkan gelar tersebut demi kepentingannya. Demi komersil, uang, tahta, dan sebagainya. Tiap kata yang mereka katakan tidak menyejukan cenderung menyakiti. Tapi bukan berarti tidak ada tokoh Ulama seperti Ulama Abiyasa. Ada dan banyak. Mereka yang berdakwah dari kampung ke kampung, kota ke kota, dan mereka yang jarang di sorot televisi. Mereka yang benar-benar berdakwa dengan tutur kata yang menyejukan. Mereka yang jarang masuk/disorot televisi. Mereka ada dan bergerak dalam kesunyian.

Jumat, 19 Maret 2021

 

ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA

           Puisi :  M. Shoim Anwar

 

Puisi adalah sejenis karya sastra yang dihasilkan oleh ekspresi dan perasaan bahasa seseorang. Segi bahasanya terkait dengan ritme, dimensi, komposisi. Isi puisi mengandung makna yang sangat indah dan berbeda-beda sehingga banyak orang yang tertarik pada puisi.

Lihatlah

sebuah panggung di negeri sandiwara

ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana

menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah

maka kekuasaan menjadi sangat pongah

memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya

agar segala tingkah polah dianggap absah

 

Ketika membaca puisi "Ulama Durna Ngesot ke Istana" salah satu karya dari penulis tersohor M. Shoim Anwar, kita akan diajak menjelajahi dinamika kehidupan. Pada bagian pertama, penggambaran seorang yang mengaku sebagai kepercayaan masyarakat dengan kebenarannya, namun tidak sesuai dengan apa yang dilakukan pada kenyataan. Hal ini terbukti dengan kalimat baris pertama puisi tersebut “sebuah panggung di negeri sandiwara” . Seakan-akan negeri itu sedang tidak dalam baik-baik saja. Dibuktikan pada kalimat baris kedua dan ketiga, kata Durna (dalam perwayangan disebut Drona atau Dorna) tersebut sengaja diselipkan untuk menggambarkan seorang yang berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicara, tetapi kecerdikan dan kesaktian yang luar biasa ketika berperang. Berlindung pada ayat dan kitab demi kemenangan pribadi agar tetap berdiri kokoh tanpa memikirkan rakyat

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya

Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana

bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa

menunggang banteng bermata merah

mengacungkan arit sebagai senjata

memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara

 

Penulis menegaskan lagi pada bait kedua yang berbunyi “ketika Ulama Durna ngesot ke istana

menyerahkan marwah yang dulu diembannya”, kata marwah yang berarti kehormatan itu diserahkan setelah kedudukan apa yang diembannya. Kemudian terdapat orang yang pandai biacara dan banyak akal bermaksud untuk hendak mencelakai, watak tersebut digambarkan oleh tokoh Sengkuni dengan beberapa pengikutnya. Menyerahkan diri tidak untuk  kalah tetapi menjatuhkan orang lain agar ia tetap berdiri kokoh diatas penderitaan orang lain.

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa

adakah ia hendak menyulut api baratayuda

para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah

tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula

porak poranda dijajah tipu daya

oh tahta dunia yang fana

para begundal mengaku dewa-dewa

sambil menuding ke arah kawula

seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah


Pada bait ketiga, diperkenalkannya bagaimana watak Durna sebagai seorang ulama, melakukan yang terbaik untuk mewujudkan keinginannya. Kata-kata ulama selalu bertebaran dalam himne dan tidak lagi dipercaya, Baginya himne adalah alat yang harus digunakan semaksimal mungkin untuk mempercepat kemampuannya.

 

Lihatlah

ketika Ulama Durna ngesot ke istana

pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra

ia diumpankan raja ke medan laga

terhenyaklah saat terkabar berita

anak hasil perzinahannya dengan satwa

telah gugur mendahului di depan sana

Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya

ia menunduk di atas tanah

riwayatnya pun berakhir sudah

kepalanya terpenggal karena terpedaya

menebus karmanya saat baratayuda

 

Pada bagian keempat, penulis memaparkan tentang ulama yang digambarkan oleh tokoh Durna yang pernah dijadikan umpan pemerintah ketika berganti posisi, namun hasilnya nihil, atau bisa dikatakan justru mengalami kegagalan. Ini adalah hasil yang telah dia lakukan sejauh ini.

                                                                                                                       

Puisi ciptaan M. Shoim Anwar di atas, jika diwujudkan dalam kondisi sekarang, adalah politik dalam negeri, di mana ulama atau sekedar ulama teladan tertarik untuk ikut serta dalam kegiatan politik di lembaga pemerintahan sehingga menarik perhatian publik dengan kepentingan pribadi penguasa. Hal yang sama berlaku untuk ulama sejati atau ulama, seorang ulama yang hanya menjual kitab suci hari ini.

 

Kamis, 11 Maret 2021

Mengulas Puisi “DURSASANA PELIHARAAN ISTANA” Karya M. Shoim Anwar dalam Kisah Mahabarata

 

DURSASANA  PELIHARAAN   ISTANA

(Karya M. Shoim Anwar)

 

Dursasana adalah durjana peliharaan istana

tingkahnya tak mengenal sendi-sendi susila

saat masalah menggelayuti tubuh negara   

cara terhormat untuk mengurai tak ditemukan jua

suara  para kawula melesat-lesat bak anak panah 

suasana kelam  bisa  meruntuhkan penguasa

jalan pintas pun digelindingkan roda-roda gila

dursasana  diselundupkan untuk memperkeruh suasana

kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah

atau melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima  

lalu istana punya alasan menangkapi mereka

akal-akalan purba yang telanjang menggurita
saat panji-panji negara menjadi slogan semata

para ulama  yang bersila di samping raja

menjadi penjilat pantat yang paling setia     

sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya 

 

Lihatlah  dursasana

di depan raja dan pejabat istana

lagak polahnya seperti paling gagah

seakan hulubalang paling digdaya

memamerkan segala kebengalannya

mulut lebar berbusa-busa

bau busuk berlompatan ke udara

tak bisa berdiri  tenang atau bersila sahaja  

seperti ada kalajengking mengeram di pantatnya   

meracau mengumbar kata-kata

raja manggut-manggut melihat dursasana

teringat ulahnya saat menistakan wanita

pada perjudian mencurangi  tahta

sambil berpikir memberi tugas selanjutnya

Apa gunanya raja dan pejabat istana

jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina

merendahkan martabat para anutan kawula

menista agama dan keyakinan para jamaah   

dursasana dibayar  dari  pajak kawula dan utang negara

akal sehat   tersesat di selokan belantara   

otaknya jadi sebatas di siku paha

digantikan syahwat kuasa menyala-nyala  

melupa sumpah yang pernah diujarnya  

para penjilat berpesta pora

menyesapi cucuran keringat para kawula   

 

Apa gunanya raja dan pejabat istana

jika tak mampu menjaga citra  negara

menyewa dursasana untuk menenggelamkan kawula 

memotong lidah dan menyurukkan ke jeruji penjara

berlagak seperti tak tahu apa-apa

menyembunyikan tangan usai melempar bara

ketika angkara ditebar dursasana

dibiarkan jadi  gerakan bawah tanah  

tak tersentuh hukum  karna berlindung di ketiak istana

 

Dursasana yang jumawa

di babak  akhir baratayuda

masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa

lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya

ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya

ingatlah, sang putra memendam luka membara

dia bersumpah akan memenggal leher dursasana hingga patah

mencucup darahnya hingga terhisap sempurna    

lalu  si ibu yang tlah dinista martabatnya 

hari itu melunasi janjinya:  keramas  dengan darah dursasana

                                                                                    Surabaya, 2021

 

______________ .. ______________ .. ______________..______________..____________­­­_

 

Dursasana adalah durjana peliharaan istana, kalimat pertama yang mewakili seluruh isi puisi karya M. Shoim Anwar ini bernuansa kejamnya kepimpinan politik yang terjadi sesungguhnya. Mengapa demikian? Membaca puisi ini memungkinkan kita untuk membangun kembali pikiran kita mengenai kenyataan pada negeri ini yang digambarkan oleh sifat tokoh Dursasana yang sungguh licik, kejam, angkuh, jahat, arogan, sembrono, suka berbicara keras, angkuh, sombong, suka tertawa, menghina sesama, dan sebagainya sehingga masyarakat tunduk padanya. Dursasana, seorang tokoh antagonis dalam kisah Mahabarata pemimpin para korawa. Karena wataknya itulah, apabila punya keinginan tidak pernah berhasil. Padahal yang dilakukan hanyalah omong kosong semata tanpa adanya dasar pengetahuan dan kerja keras layaknya peribahasa yaitu “Tong kosong nyaring bunyinya”. Namun, perbuatannya tersebut nyatanya disegani pemimpin negara apalagi setelah menindas wanita dan melecehkan publik. Akibatnya kekacauan hukum merajalela karena perbudakan masyarakat dengan dalih yang seakan-akan merubah kehidupannya, pada akhirnya rakyat yang akan menanggung semua beban akibatnya. Padahal rakyatlah yang membayar harga hidup para pemimpin, namun nyatanya mereka tidak bisa menjaga harkat dan martabat negaranya sendiri karena hawa nafsu menutupi dirinya. Hukum yang tidak masuk akal dengan menjebloskan orang-orang ke penjara, membunuh bayi yang tidak bersalah, menindas dan melecehkan reputasi para wanita.

 

Setiap karya sastra memiliki kekurangan serta kelebihan begitu juga puisi. Kelebihan puisi diatas adalah penggunaan gaya bahasa yang menceritakan kehidupan politik membuat pembaca merasa terbius akan keadaan yang tergambarkan. Kekurangannya dari segi pemilihan bahasa sangat susah diartikan oleh orang awam yang tidak begitu mendalami dunia sastra sehingga harus mengetahui arti kata demi kata yang terkandung. Dapat dikatakan bahwa kekuatan yang digunakan penyair lebih condong pada pemilihan kata yang jarang digunakan oleh para penulis membuat puisi tersebut terlihat istimewa dari puisi lainnya.

 

Puisi yang mengandung dunia politik tersebut dapat kita hubungkan dengan kenyataan pemerintahan saat ini, dimana pernah terjadi adanya demo Omnibus Law yang menolak keputusan pemerintah dalam mengambil keputusan yang tidak masuk akal dan memperkeruh keadaan masyarakat menengah kebawah sehingga banyak dari masyarakat yang dipenjarakan saat mereka ingin menyuarakan pendapatnya. Serta banyaknya kasus korupsi di negeri sendiri dengan menghabiskan uang rakyat demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan nasib masyarakat khususnya kalangan menengah kebawah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sumpah janji yang diikrarkan pada pelantikan.

Eksistensi Perempuan Pada 5 Cerpen Karya M. Shoim Anwar

  Cerpen pertama yang berjudul “Sorot Mata Syaila”, menceritakan sebuah peristiwa kasus korupsi uang negara yang dilakukan oleh tokoh yang b...