Menelaah puisi "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah" karya Shoim Anwar
Puisi merupakan sesuatu yang dituliskan oleh penulis dengan mengekspresikan pemikiran, dan
perasaan kedalam bentuk karya tulis.
Seperti juga yang dilakukan oleh Shoim Anwar dalam menulis puisi yang
berjudul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”,
kita akan berselancar mengarungi sebuah
cakrawala kehidupan. Pada bait pertama puisi menceritakan ulama Abiyasa yang benar-benar menjadi seorang
ulama. Ulama yang dimuliakan oleh banyak orang. Ulama yang tidak tergoda oleh
bujuk rayu dunia dan tidak takut dengan jalan kebenaran yang dipilinya. Hal
tersebut dapat dibuktikan pada bari pertama “Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia” menggambarkan seorang ulama
Abiyasa yang dianggap guru dan dimuliakan banyak orang dan dianggap sebagai
penuntun jalan. Pada baris ke dua adalah penguat bagaimana seorang ulama
Abiyasa menjadi panutan oleh pengikutnya. Pada baris ke tiga menjelakan bahwa
ia adalah ulama yang berpegang teguh pada ilmu dan kebenaran. Sehingga ia tidak
kepincut dengan yang bersifat keduniawian. Sedangkan bari empat sampai enam
membuktian ulama Abiyasa tidak dengan segala hal yang bersifat keduniawian dan
tidak pernah takut dengan apapun kalau dalam keadaan benar
Ulama
Abiyasa adalah guru yang mulia
Panutan
para kawula dari awal kisah
Ia
adalah cagak yang tegak
Tak
pernah silau oleh gebyar dunia
Tak
pernah ngiler oleh umpan penguasa
Tak
pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
Tak
pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
Tak
pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Pada bait ke dua penulis menekankan
pada baris sembilan “Ulama Abiyasa
merengkuh teguh hati dan lidah” pada baris tersbut mengambarkan ulama
Abiyasa menselaraskan hati dan ucapannya sehingga tidak menyakiti atau
menghasilkan hal-hal yang tidak baik. Kerena ketika seseorang mampu
menselasraskan hati dan lidah(ucapan) menjadi orang yang akan dipercaya dan
dihormati. Pada baris ke sepuluh menggambarkan kehoramatan haruslah dijaga
dengan baik. Baris berikutnya untuk mencapai sebuah kehormatan dan menjaga
kehormatan digambarkan dengan bertutur kata haruslah dengan baik dan tidak
menyakiti orang lain. Sedangkan bait dua belas dan tiga belas menjelaskan untuk
dihormati tidak perlu dan tidak sepatutnya menggunakan kekerasan/menyakiti.
Cukuplah dengan berbuat bijaksana dalam bersikap, bertutur kata, dan bijaksana
dalam melakukan segala sesuatu.
Ulama
Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
Marwah
digenggam hingga ke dada
Tuturnya
indah menyampaikan aroma bunga
Senyumnya
merasuk hingga sukma langkahnya menjadi panutan bijaksana
Kehormatan
ditegakkan tanpa sebiji senjata
Pada bait ke tiga penulis menekankan pada baris ke empat belas dan lima belas “Ulama Abiyasa bertitah. Para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya” pada kedua baris tersebut menggambarakan bagaimana dihormatinya Ulama Abiyasa. Ketika ia sudah bersabda atau mengatakan sesuatu semua orang akan tunduk, hormat dan melaksanakan sesuai apa yang dikatakannya. Tidak terkecuali sekalipun Raja dan Penguasa tetap akan hormat dengan apa yang sudah diucapkannya. Baris seterusnya membuktikan bahwa seorang ulama berdiri diatas segala-galanya. Tidak mampu diperdaya untuk segelintir kepentingan. Tiap kata atau ayat suci yang keluar dari dalam mulutnya adalah murni demi kebaikan. Tidak untuk jabatan apapun, tidak untuk kepentingan apapun, dan sekalipun itu kepentingan penguasa. Ia tidak membutuhkan semua itu. Ulama berdaulat ulama Abiyasa.
Ulama
Abiyasa bertitah
Para
raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
Tak
ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
Menjadikan
sebagai pengumpul suara
Atau
didudukan di kursi untuk dipajang di depan massa
Diberi
pakaian dan penutup kepala berharga murah
Agar
tampak sebagai barisan ulama
Ulama
Abiyasa tidak membutuhkan itu semua
Datanglah
jika ingin menghaturkan sembah
Semua
diterimah dengan senyum memesona
Jangan
minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
Sebab
ia lurus apa adanya
Mintalah
arah dan jalan sebagai amanah
Bukan
untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
Tapi dilaksanakan sepenuh langkah
Desember 2020
Ketika membicarakan makna
keseluruhan puisi Ulama Abiyasa tidak pernah minta jatah karya Shoim Anwar
bermakna ulama yang perpegang teguh pada ilmu yang diperlajarinya. Artinya
ketika diberi gelar seorang ulama sudah sepatutnya segala tindak laku haruslah
mencerminkan sebagai seorang ulama. Ulama yang tidak tergoda dengan segala
sesuatu bersifat duniawi dan berpegang teguh atas dari ilmu atau akhida agama.
Jika dihubungkan dengan masa
sekarang Ulama Adiyasa sungguh sosok yang diidam-idamkan. Coba tengok banyak
sekali orang yang diberi gelar{mengaku) sebagai ulama memanfaatkan gelar
tersebut demi kepentingannya. Demi komersil, uang, tahta, dan sebagainya. Tiap
kata yang mereka katakan tidak menyejukan cenderung menyakiti. Tapi bukan
berarti tidak ada tokoh Ulama seperti Ulama Abiyasa. Ada dan banyak. Mereka
yang berdakwah dari kampung ke kampung, kota ke kota, dan mereka yang jarang di
sorot televisi. Mereka yang benar-benar berdakwa dengan tutur kata yang
menyejukan. Mereka yang jarang masuk/disorot televisi. Mereka ada dan bergerak
dalam kesunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar