ULAMA DURNA
NGESOT KE ISTANA
Puisi : M. Shoim Anwar
Puisi adalah sejenis karya sastra yang dihasilkan oleh
ekspresi dan perasaan bahasa seseorang. Segi bahasanya terkait dengan ritme,
dimensi, komposisi. Isi puisi mengandung makna yang sangat indah dan
berbeda-beda sehingga banyak orang yang tertarik pada puisi.
Lihatlah
sebuah
panggung di negeri sandiwara
ketika ada
Ulama Durna ngesot ke istana
menjilat
pantat raja agar diberi jatah remah-remah
maka kekuasaan
menjadi sangat pongah
memesan
potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya
agar segala
tingkah polah dianggap absah
Ketika
membaca puisi "Ulama Durna Ngesot ke Istana" salah satu karya dari
penulis tersohor M. Shoim Anwar, kita akan diajak menjelajahi dinamika kehidupan.
Pada bagian pertama, penggambaran seorang yang mengaku sebagai kepercayaan masyarakat
dengan kebenarannya, namun tidak sesuai dengan apa yang dilakukan pada
kenyataan. Hal ini terbukti dengan kalimat baris pertama puisi tersebut “sebuah panggung di negeri sandiwara” . Seakan-akan
negeri itu sedang tidak dalam baik-baik saja. Dibuktikan pada kalimat baris
kedua dan ketiga, kata Durna (dalam perwayangan disebut Drona atau Dorna) tersebut
sengaja diselipkan untuk menggambarkan seorang yang berwatak tinggi hati,
sombong, congkak, bengis, banyak bicara, tetapi kecerdikan dan kesaktian yang
luar biasa ketika berperang. Berlindung pada ayat dan kitab demi kemenangan
pribadi agar tetap berdiri kokoh tanpa memikirkan rakyat
Lihatlah
ketika Ulama
Durna ngesot ke istana
menyerahkan
marwah yang dulu diembannya
Sengkuni dan
para pengikutnya di luar sana
bertingkah sok
gagah berlindung di ketiak penguasa
menunggang
banteng bermata merah
mengacungkan
arit sebagai senjata
memukulkan
palu memvonis orang-orang ke penjara
Penulis menegaskan lagi pada bait kedua yang
berbunyi “ketika Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan marwah yang dulu diembannya”, kata marwah yang berarti kehormatan itu diserahkan setelah kedudukan apa
yang diembannya. Kemudian terdapat orang yang pandai biacara dan banyak akal bermaksud
untuk hendak mencelakai, watak tersebut digambarkan oleh tokoh Sengkuni dengan
beberapa pengikutnya. Menyerahkan diri tidak untuk kalah tetapi menjatuhkan orang lain agar ia
tetap berdiri kokoh diatas penderitaan orang lain.
Lihatlah
ketika Ulama
Durna berdagang mantra berbusa-busa
adakah ia
hendak menyulut api baratayuda
para
pengikutnya mabuk ke lembah-lembah
tatanan yang
dulu dicipta oleh para pemula
porak poranda
dijajah tipu daya
oh tahta dunia
yang fana
para begundal
mengaku dewa-dewa
sambil
menuding ke arah kawula
seakan isi
dunia hendak diuntal mentah-mentah
Pada bait ketiga, diperkenalkannya bagaimana watak Durna sebagai
seorang ulama, melakukan yang terbaik untuk mewujudkan keinginannya. Kata-kata
ulama selalu bertebaran dalam himne dan
tidak lagi dipercaya, Baginya himne adalah alat yang harus digunakan semaksimal
mungkin untuk mempercepat kemampuannya.
Lihatlah
ketika Ulama
Durna ngesot ke istana
pada akhir
perebutan tahta di padang kurusetra
ia diumpankan
raja ke medan laga
terhenyaklah
saat terkabar berita
anak hasil
perzinahannya dengan satwa
telah gugur
mendahului di depan sana
Ulama Durna
bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia menunduk di
atas tanah
riwayatnya pun
berakhir sudah
kepalanya
terpenggal karena terpedaya
menebus
karmanya saat baratayuda
Pada bagian keempat, penulis memaparkan tentang ulama yang
digambarkan oleh tokoh Durna yang pernah dijadikan umpan pemerintah ketika
berganti posisi, namun hasilnya nihil, atau bisa dikatakan justru mengalami kegagalan. Ini adalah hasil yang telah dia lakukan sejauh ini.
Puisi ciptaan M. Shoim Anwar di atas, jika diwujudkan dalam
kondisi sekarang, adalah politik dalam negeri, di mana ulama atau sekedar ulama
teladan tertarik untuk ikut serta dalam kegiatan politik di lembaga
pemerintahan sehingga menarik perhatian publik dengan kepentingan pribadi
penguasa. Hal yang sama berlaku untuk ulama sejati atau ulama, seorang ulama
yang hanya menjual kitab suci hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar