Minggu, 30 Mei 2021

"SAJAK PALSU" Agus R. Sarjono

Agus R Sarjono seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia dengan kelahiran 27 Juli 1962 di Bandung, Jawa Barat. Banyak karyanya yang dimuat di berbagai media yakni koran, majalah, dan jurnal baik negara Indonesia, Malaysia maupun Brunei Darussalam. Salah satu karyanya yang pernah dimuat adalah cerpen pilihan Kompas 2003 berupa esai yang diterbitkan dalam buku yaitu Bahasa dan Bonafiditas Hatu (2001). Maka tidak bisa dipungkiri bahwa ia berhak menerima sebuah kehormatan sebagai sastrawan Indonesia pertama yang tinggal dan menulis di rumah sastrawan besar Jerman peraih nobel sastra, Heinrich Boll atas undangan Heinrich Boll Stiftung. Selain penyair ia juga berprofesi sebagai pengajar di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.


Sajak Agus R. Sarjono memiliki ciri khas dengan gaya pengucapannya yang berbicara hal politik, penggungkapannya menjadikan ia berbeda dengan sastrawan lainnya. Bagaimana tidak, bentuk protes kepolitikan dikemas dengan bahasa unik yang puitis. Salah satu puisinya yang berjudul “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono mengungkapkan kehidupan masyarakat yang tidak terlepas dari kepalsuan dan kemunafikan. Terlihat jelas dengan banyaknya fenomena lirik puisi yang diistilahkan kepalsuan. Singgungan keras perkara kehidupan pada saat ini terhadap kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah, tokoh publik maupun masyarakat. Namun hal ini tidak bisa disamaratakan karena tidak semua melakukan hal itu.


Saya ambil kutipan lirik “Sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu”. Saya ambil contoh pada tokoh seorang guru, saya pribadi kurang setuju dengan pernyataan tersebut bahwa guru sumber kepalsuan. Sebaiknya penulis tidak menyamakan semua guru, karena masih ada guru yang mengajarkan dan mendedikasikan dirinya dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Namun, disisi lain hal itu dapat menjadikan renungan untuk semua kalangan untuk membuktikan bahwa semua tokoh dapat mengharumkan negaranya sendiri. Kelebihan puisi tersebut sangat mudah dipahami dengan bahasa yang lugas dan jelas namun sangat bermakna.

Minggu, 23 Mei 2021

MENGULAS PUISI WIJI THUKUL

Sebuah perjuangan Politik seorang Wiji Thukul yang merebut sebuah kemerdekaan atas dirinya. Ia penggerak demokrasi. Seni sastra yang bernilai besar membuat penafsiran berbeda dengan lainnya. Kehidupan sehari-hari pada zaman itu ditransformasikan hingga menjadi kehidupan sekarang. Suara hati yang dinyatakan melalui puisi mampu dan mudah dibaca oleh semua kalangan dengan latar belakang berbeda.

Telah banyak puisi Wiji Thukul yang diketahui. Namun kali ini mengulas puisi beliau yang berjudul peringatan sebagai bentuk perlawan rakyat kepada pemerintahan.

Mengingatkan kepada kita para rakyat untuk berhati-hati dalam menyuarakan pendapat. Karena bisa saja kita akan dibungkam. Namun ketika usulan itu ditolak, maka kita tidak boleh ambil diam. Semboyan Wiji Thukul adalah "LAWAN"

Puisi kedua yang berjudul "Di bawah selimut kedamaian palsu" menyatakan kekecawaan Wiji Thukul atas apa yang dilakukan rakyat maupun pemerintah yang buta akan kenyataan. Sekolah tinggi namun tidak mampu untuk berpikir dalam memerdekakan negerinya.


Sabtu, 15 Mei 2021

SEBUAH DINAMIKA MENJEMPUT HIDAYAH DI BULAN RAMADAN DALAM MENYAMBUT IDUL FITRI

 

Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini diberi gelar sebagai  “Presiden penyair Indonesia”. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.

Sebuah puisi karya Sutadji Calzoum Bachri yang berjudul “Idul Fitri” ini menggambarkan seorang yang sedang dalam keadaan bertaubat atas kebiasaan masa lalu yang kelam yaitu menjadi pemabuk. Dalam Islam, meminum minuman yang memabukkan adalah dosa besar. Khamr atau minuman keras (alkohol) merusak moral para peminum dan bahkan menjerumuskan mereka ke dalam kerusakan moral yang paling dalam karena alkohol benar-benar menghilangkan akal pikirannya. Kini ia mulai merasakan penyesalannya dengan cara bertaubat memohon ampunan dan memperbaiki diri secara terus menerus tanpa henti sebagai penebus dosa di masa lalunya. Rasa bersalah dan penyesalan muncul dari dalam dirinya sehingga menjadi proses evaluasi diri dan refleksi diri.

Indahnya suasana Ramadhan menjadi jalan hidayah yang dirasakan oleh seorang tokoh yang digambarkan pada puisi tersebut dengan menjalani kehidupan yang lebih baik di dunia ini dan di masa depan. Sholat malam, wirid siang malam, menanti malam lailatul qadar dengan hati ikhlas dalam usaha dalam mencapai kemenangan. Usaha yang tidak setengah-setengah mampu membuat ia sadar dan menyambut Idul Fitri dengan hati dan batin yang bersih. Ia berkeyakinan bahwa setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan, dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasanya telah diterima oleh Allah, dan menjadi penghapus terhadap semua dosa yang ia lakukan sebelumnya, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Dari puisi tersebut, banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah menjemput hidayah itu perlu untuk kembali ke jalan yang benar. Bahasa yang lugas, sederhana dan mampu dipahami semua kalangan menjadikan puisi tersebut menjadi suatu bentuk instropeksi diri kita semua. Sebuah judul “Idul Fitri” mungkin diambil sebagai bentuk penggambaran kemenangan seorang pemabuk yang bertaubat.

Jumat, 07 Mei 2021

Keterikatan 3 Puisi Karya Mashuri (Hantu Kolam, Hantu Musim, Hantu Dermaga)

Mashuri lahir di Lamongan pada tanggal 27 April 1976. Ia terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan tradisi dan agama. Mashuri lulus dari dua pesantren di kampung halamannya. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Selain kegiatan pendidikannya, Mashuri juga aktif di Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Puisi, cerita pendek, esai, novel, naskah drama, sejarah lokal dan penelitian ilmiahnya telah diterbitkan di banyak surat kabar. Pada tahun 2006, Mashuri memenangkan Lomba Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Setelah bekerja sebagai jurnalis sejak 1999 hingga 2011, ia menjadi peneliti sastra di Pusat Bahasa Jawa Timur sejak 2006.

Pada ketiga karya Mashuri tersebut, dilihat dari segi judul sangat diyakini bahwa mempunyai kesinambungan antara puisi satu dan puisi lainnya. Seperti memiliki keterikatan cerita dalam bentuk beberapa episode. Namun Ketika kita membaca secara saksama, maka terlihat jelas perbedaan isi puisi yang terkandung, walaupun ketiganya mempunyai satu topik yaitu sebuah bayangan ratapan kesedihan. Berawal dari judul yang tertulis hantu yang dimaksud dari Mashuri bukanlah mengacu pada roh yang telah meninggalkan tubuh karena kematian. Sebelumnya saya jelaskan terlebih dahulu apa itu hantu dalam kenyataannya, sehingga kita bisa membedakan perbedaan hantu dalam kehidupan manusia dengan yang dimaksud pada puisi Mashuri tersebut. Memang pada dasarnya setiap agama, peradaban, dan adat biasanya mendefinisikan hantu secara berbeda. Dalam banyak budaya, hantu tidak didefinisikan sebagai zat yang baik atau jahat. Istilah seperti setan, iblis, dan genderuwo lebih umum digunakan untuk menyebut roh jahat. Hantu sendiri sering digambarkan sebagai zat mirip manusia, meskipun ada juga cerita tentang hantu binatang. Mereka diyakini tinggal di tempat, benda, atau orang tertentu yang terhubung dengan mereka selama hidup mereka.

Puisi pertama dari karya Mashuri yang dianalisis yaitu berjudul Hantu Kolam, sebuah puisi yang menceritakan sebuah kehidupan yang terbayang oleh masa lalu dan sulit untuk melupakannya. Seseorang yang meratapi kesedihan tergambarkan oleh penggalan larik puisi tersebut:

mataku berenang
bersama ikan-ikan

maksud dari larik tersebut ialah mataku yang berenang menggambarkan sebuah tangisan berlinang air mata yang keluar ketika berdiri di pinggir sungai sehingga diibaratkan mampu membuat ikan berenang. Tidak bisa dibayangkan sebesar mana tangisan itu. Pada penggalan tersebut:

, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap

Pikirannya terpenuhi dengan beban-beban kecil yang menumpuk sehingga menjadikan beban besar dan menggelapkan isi kepalanya. Kemudian maksud dari penggalan larik puisi tersseut adalah:

tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

Seakan-akan tidak ada lagi yang mampu membangkitkan semangat hidupnya lagi karena masih teringat luka masa lalu yang melekat di hatinya. Seketika teringat kembali  masa lalu namun itu hanyalah sebuah kenangan semata. Tidak bisa diulang, hanya bisa dikenang.

Pada puisi tersebut terdapat sebuah majas personifikasi, yakni suatu penggambaran benda mati yang iibaratkan seperti manusia seperti pada penggalan lariik “mataku berenang
bersama ikan-ikan”.
Terlihat dari penggambaran gaya bahasa yang sedikit menyulitkan para pembaca untuk menafsirkan makna yang terkandung, dikarenakan tingkat gaya Bahasa yang tinggi. Namun, hal ini justru membuat puisi itu lebih indah dan berkesan.

Puisi pertama dari karya Mashuri yang dianalisis yaitu berjudul Hantu Musim, sebuah puisi yang menceritakan sebuah kenangan masa lalu yang mampu membangkitkan dan menjadikan keindahan sehingga ingin mengulang kejadian itu kembali. Pada puisi tersebut terdapat sebuah penggambaran gaya bahasa yang sedikit menyulitkan para pembaca atau orang awam untuk menafsirkan makna yang terkandung karena memiliki tingkat gaya bahasa yang tinggi, bahkan lebih sulit dipahami dari puisi yang pertama. Namun, hal ini justru membuat puisi itu lebih indah dan berkesan bagi kalangan para sastrawan. Terdapat juga kesalahan penulisan jika ditinjau dari segi tata Bahasa. Yakni, pada larik “kerna di situ, aku mampu mengenal kembali siku” kata “kerna” seharusnya tertulis “karena” atau mungkin bisa jadi terdapat unsur kesengajaan atau bahkan bisa jadi itu sebuah typo sang penuulis web.

Puisi pertama dari karya Mashuri yang dianalisis yaitu berjudul Hantu Dermaga, sebuah puisi yang menceritakan sebuah perjuangan dalam kematiannya.  Hal ini ditandai dengan penggalan larik puisi:

serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

kematian bukan kehidupan yang berakhir, karena  masih ada kehidupan setelahnya.

Pada puisi tersebut terdapat sebuah penggambaran gaya bahasa yang sangat menyulitkan para pembaca atau orang awam untuk menafsirkan makna yang terkandung karena memiliki tingkat gaya bahasa yang tinggi, bahkan lebih sulit dipahami dari puisi yang pertama dan kedua. Namun, hal ini justru membuat puisi itu lebih indah dan berkesan bagi kalangan para sastrawan. Kemudian terdapat juga kata yang tidak sesuai dengan tata bahasa sehingga menghilangkan nilai estetik dari KBBI seperti kata sekedar -> sekadar, mantram -> mantra.

 

Untuk melihat dan mengunduh puisi yang berjudul “ Idul Fitri” karya Sutadji Calzoum Bachri, dapat diakses di laman berikut ini: https://puisikompas.wordpress.com/tag/mashuri/ 

Eksistensi Perempuan Pada 5 Cerpen Karya M. Shoim Anwar

  Cerpen pertama yang berjudul “Sorot Mata Syaila”, menceritakan sebuah peristiwa kasus korupsi uang negara yang dilakukan oleh tokoh yang b...